Selasa, 21 Desember 2010

tugas komputer

1. Apakah yang dimaksud dengan Jurnal sosiologi Internasional?
Jawab :
- International Journal of Sociology
Editor: Tadeusz K. Krauze, Hofstra University (TKrauze@aol.com)
The International Journal of Sociology makes available to the English-speaking reader a selection of serious sociological research from many countries. The journal focuses on macro-sociological studies with special attention to comparative work and cross-national research using data from such sources as the World Values Survey, the European Social Survey, and the International Social Survey Program.
“Provides valuable materials for comparative social studies. It is an indispensable source of data for students of social stratification and social change.” -Kazimierz M. Slomczynski, The Ohio State University
sumber : http://www.mesharpe.com/mall/results1.asp?ACR=ijs
- Sosiologi Internasional
Didirikan pada tahun 1986 oleh International Sosiologi Association (ISA), International Sosiologi (ISS) adalah salah satu jurnal sosiologis pertama yang mencerminkan kepentingan penelitian dan suara komunitas internasional sosiolog. Peer ini berperingkat tinggi-jurnal ditinjau menerbitkan kontribusi dari berbagai bidang sosiologi, dengan fokus pada pendekatan internasional dan komparatif.
sumber : http://iss.sagepub.com
2. Carilah sebuah contoh jurnal dengan tema sosiologi atau Pendidikan. Selain contoh journal yang dapat di download di http://www.4shared.com/file/EPUZGDCr/contoh_journal.html
Jawab :
PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN
MELALUI PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU*
Baedhowi

ABSTRACT
One way of making education a success by improving teacher’s quality, competence and professionalism. The government translates it through the policy of certification in the form of portofolio evaluation. However, the government can use other meansto achieve that goal, namely by deploying good quality teachers, selecting good teachers, restructuring the exiting teacher – generating institution, improving teacher’s welfare, providing scholarships, and giving reward to high achievers. Key words: improving teacher’s quality, competence, and professionalism.
PENDAHULUAN
Pertemuan sembilan Menteri Pendidikan berpenduduk terbesar di Dunia (The Seventh E-9 Ministrial Review Meeting) yang diikuti oleh Cina, India, Indonesia, Brazil, Mesir, Bangladesh, Pakistan, Meksiko dan Nigeria di Nusa Dua Bali, yang berlangsung pada tanggal 10 – 12 Maret 2008 telah menghasilkan deklarasi Bali. Salah satu poin penting dalam deklarasi ini menekankan pada peningkatan kualitas guru. Hal ini karena, ternyata, 50 % guru di lima Negara E-9belum berpendidikan formal dan hanya 50 % yang berpendidikan strata satu (primary education training).
Ironisnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang jumlah guru berpendidikan primer setara S1 kurang dari 50 %. Ini berarti dari jumlah 2,7 juta guru, sebanyak 1,35 juta orang guru belum mencapai kualifikasi S1. Laporan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2006 menunjukkan bahwa guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV baru mencapai target 35,6 % saja. Jadi sebanyak 64,4 % guru belum memenuhi kualifikasi S1/D-IV. Pada tahun 2007, Depdiknas baru berhasil meningkatkan kualitas guru hingga S1/D-IV sebanyak 81.800 guru dan melakukan sertifikasi guru sebanyak 147.217 orang.
Dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif guru, kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apapun tetap akan sia-sia. Sebagus apapun dan semodern apapun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas, maka tidak akan membuahkan hasil optimal. Artinya, pendidikan yang baik dan unggul tetap akan bergantung pada kondisi mutu guru. Hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for Twenty-first Century, yang menyatakan bahwa “memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung pada perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, karakter personal, prospek professional, dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi harapan stakeholder” (Delors, 1996).
Fakta di lapangan tersebut merefleksikan bahwa peningkatan mutu guru mutlak harus segera dilaksanakan, mengingat untuk menjadi bangsa yang besar dan berdaya saing tinggi diperlukan SDM yang berkualitas, handal dan profesional. Agar dapat mencetak sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas, sektor pendidikan harus digarap dengan sungguh-sungguh. Di antara upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia adalah dengan meningkatkan kualitas maupun kompetensi guru sebagai salah satu pilar keberhasilan pendidikan. Kemudian pertanyaan yang perlu dipertimbangkan adalah “Seberapa pentingkah peran guru dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berdaya saing tinggi, handal dan professional ?”, dan “Upaya –upaya apakah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru ?”
Peran Guru dalam Mewujudkan SDM yang Profesional
Menurut Makagiansar (1996), memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran dan perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buta teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, dan (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi kerja sama.
Pergeseran paradigma tersebut menuntut adanya upaya peningkatan kualitas di bidang pendidikan, yang bukan sekedar mengejar target output sematamata, tetapi yang lebih penting adalah outcome, yaitu bagaimana kualitas lulusan (output) dalam menghadapi tantangan global di masa mendatang. Paradigma ini juga berimplikasi perlunya guru yang berkompeten dan professional untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, yang diharapkan dapat menghasilkan output dan outcome yang baik sacara kuantitatif maupun kualitatif.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahakn, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU No. 14 tahun 2005 : 2)
Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban :
1) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
2) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
3) bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
4) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hokum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
5) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Berdasarkan undang-undang tersebut sangat jelas bahwa guru merupakan key person in classroom, sehingga guru memiliki peran yang sangat vital dan fundamental dalam membimbing, mengarahkan, dan mendidik siswa dalam proses pembelajaran (Davies dan Ellison, 1992). Karena peran mereka yang sangat penting itu, keberadaan guru bahkan tak tergantikan oleh siapapun atau apapun sekalipun dengan teknologi canggih. Alat dan media pendidikan, sarana prasarana, multimedia dan teknologi hanyalah media atau alat yang hanya digunakan sebagai teachers` companion (sahabat – mitra guru).
Guru memiliki peran yang amat penting, terutama sebagai agent of change melalui proses pembelajaran. Oleh karena itu, agar dapat berperan dengan efektif dan professional, guru harus memiliki beberapa persyaratan, antara lain ketrampilan mengajar (teaching skills), berpengetahuan (knowledgeable), memiliki sikap profesionalisme (good professional attitude), memilih, menciptakan dan menggunakan media (utilizing learning media), memilih metode mengajar yang sesuai, memanfaatkan teknologi (utilizing technology), mengembangkan dynamic curriculum, dan bisa memberikan contoh dan teladan yang baik (good practices) (Hartoyo dan Baedhowi, 2005)
Teaching Skills
Guru yang prfesional dapat dilihat dari keterampilan mengajar (teaching skills) yang mereka miliki. Keterampilan mengajar yang dimiliki oleh guru dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain :
1) Guru sebagai pembimbing dan fasilitator yang mampu menumbuhkan belajar mandiri (self learning) pada diri siswa;
2) Memiliki interaksi yang tinggi dengan seluruh siswa di kelas;
3) Memberikan contoh, pekerjaan yang menantang (challenging work) dengan tujuan yang jelas (clear objectives);
4) Mengembangkan pembelajaran berbasis kegiatan dan tujuan;
5) Melatih siswa untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan mereka dan memiliki sense of ownership dan mandiri dalam pembelajaran;
6) Mengembangkan pembelajaran individu;
7) Melibatkan siswa dalam pembelajaran maupun penyelesaian tugas-tugas melalui enquiry-based learning, misalnya dengan memberikan pertanyaan yang baik dan analitis;
8) Menciptakan lingkungan pembelajaran yang positif dan kondusif;
9) Memberikan motivasi dan kebangsaan yang tinggi; dan
10) Pengelolaan waktu yang baik.
Knowledgeable
Pengetahuan merupakan faktor utama dalam membentuk profesionalisme seseorang. Pengetahuan dapat diperoleh melalui : (1) academic – proses pendidikan formal, (2) practical session – pelatihan praktis, dan (3) life skills – kecakapan hidup yang diperoleh melalui berbagai cara dan kegiatan.
Professional Attitude
Sikap sangat berpengaruh terhadap profesionalisme seseorang guru. Sikap tersebut antara lain : (1) independence – mandiri dan tidak selalu tergantung pada orang lain, dan (2) continous self-improvement – selalu siap memperbaiki diri sendiri secara terus-menerus.
Learning Equipment / Media
Perlengkapan dan media pendidikan sangat perlu untuk mendukung profesionalisme guru. Guru dituntut mampu memilih, menggunakan dan bahkan menciptakan media pembelajaran. Media sedapat mungkin disediakan secara memadai dan lengkap (sufficient and complete) dan modern. Tanpa perlengkapan dan media yang lengkap dan modern, sekolah tak mampu memberikan hasil yang bagus.
Technology
Peran teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi (ITC) dalam pendidikan sangat penting, karena dapat membuat pembelajaran lebih bervariasi dan hidup (teaching more colourfull), apalagi jika diintegrasikan dengan multimedia.
Curriculum
Kurikulum yang responsive, mampu menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat, dynamic (berkembang sejalan dengan perkembangan jaman), dan flexible yang dapat diadaptasikan dalam berbagai situasi dan kondisi, serta sesuai dengan kebutuhan siswa (students needs) merupakan suatu kebutuhan. Kurikulum yang dinamis memiliki cirri (1) disusun dengan baik (well-organized), (2) memiliki nilai tambah(added value), bukan hanya berisi materi yang harus dipelajari siswa, dan (3) terintegrasi (integrated) dan bukan terkotak – kotak.
Dengan kurikulum yang demikian ini, guru akan lebih mudah dan terarah dalam mengembangkan dirinya menjadi guru yang professional tanpa harus terbebani karena kurikulum yang kaku, kurang fleksibel, dan mengambang tidak jelas.
Good Examples / Practices
Pendidikan akan efektif apabila dibarengi dengan contoh atau teladan yang baik pula. Pemberian teladan yang baik oleh guru menuntut guru untuk senantiasa melakukan yang terbaik dan bertindak secara professional. Contoh atau teladan yang baik dapat membangun karakter (character building) seperti kepemimpinan, sikap menghormati, membantu orang lain, menjadi pendengar yang baik, bersikap demokratis, dan lain-lain.
Ilustrasi tersebut mempertegas keyakinan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus dan significant yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 14 tahun 2005 sebagai berikut:

a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia;
c. memiliki kualifikasi akademik, dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e. memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan ; dan memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal – hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Dengan kata lain, guru yang professional wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi personal atau kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (UU No. 14 Tahun 2005, pasal 8 dan 10).
Strategi Peningkatan Profesionalisme Guru
Menyikapi tuntutan profesionalisme guru yang sarat dengan tuntutan akademis dan non – akademis, membuat kita semakin prihatin apabila tuntutan tersebut tak dapat dipenuhi; dan apabila persyaratan sudah ‘dipenuhi’ apakah kesejahteraan mereka juga ‘terpenuhi’. Dua hal inilah yang seringkali menjadi sebuah dikotomi yang berkepanjangan, sehingga tidak mengherankan apabila ada guru yang terpaksa mengajar ala kadarnya karena capai dan ngantuk setelah semalaman dia terpaksa harus ‘ngojek’ atau menjadi ‘pengemudi pocokan’ atau bahkan menjual jasa ‘sebagai penjaga malam’ dab sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya karena penghasilan mereka sebagai guru masih dapat memenuhi kebutuhannya (Hartoyo, 2007). Contoh – contoh lain tentang guru yang harus melakukan kerja sambilan ‘banting – tulang’ banyak kita jumpai di sekitar kita, yang tentu saja berpengaruh terhadap profesionalisme dan kualitas mengajar mereka. Memang serba salah, jika tidak mencari sambilan kebutuhan mereka tak terpenuhi, tetapi jika mengerjakan kerja sambilan kualitas mengajar mereka cenderung berkurang. Di samping itu, guru juga seringkali dijadikan ‘kambing hitam’ apabila hasil belajar siswa kurang menggembirakan, misalnya banyak siswa yang nilai UN-nya jelek, banyak yang tidak lulus, banyak yang tidak naik kelas dan sebagainya.
Menyikapi hal ini, pemerintah tidak tinggal diam. Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru telah dan terus dilakukan sejalan dengan UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Dalam Undang – Undang tersebut dinyatakan adanya tunjangan guru sebagai profesi yang merupakan angina segar bagi masyarakat guru, meskipun harus melalui sertifikasi terlebih dahulu. Secara praktis, undang – undang mendudukkan hak dan kewajiban secara seimbang. Strategi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru antara lain sebagai berikut :
1) Sertifikasi
Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Adalah dengan melaksanakan sertifikasi. Sertifikasi semacam ‘ujian nasional. Bagi semua guru dari tingkat SD sampai SMA. ‘UN’ guru ini digunakan sebagai langkah pemetaan terhadap kompetensi guru secara nasional. Program ini juga penting sebagai upaya melihat seberapa jauh persebaran guru yang benar-benar kompeten di bidangnya.
Kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru sebagai implementasi UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen sesungguhnya merupakan hal yang sangat strategis untuk meningkatkan kompetensi dan sekaligur kesejahteraan guru.
Namun sayangnya, kebijakan tersebut terkesan terlalu akomodatif terhadap tarik ulur kepentingan politis. Semestinya kebijakan tersebut harus benar-benar diarahkan pada upaya menjaring bibit-bibit guru professional, bukan sekedar untuk ‘balas budi’ terhadap lamanya pengabdian para ‘guru senior’.
Meskipun telah dibuat seperangkat aturan tentang sertifikasi, pelaksanaannya di lapangan masih menyisakan berbagai masalah. Terdapat 3 masalah mendasar dan krusial yang terjadi selama ini, yaitu :
a. Penentuan Guru untuk Mengikuti Sertifikasi
Meskipun pemerintah telah merencanakan sertifikasi guru secara Keseluruhan, ada beberapa pentahapan pelaksanaan sertifikasi yang dibarengi dengan jumlah kuota dari tahap ke tahap, sehingga perlu ada penentuan siapa yang mengikuti serifikasi terlebih dahulu dan siapa yang kemudian. Dalam pelaksanaan sertifikasi diharapkan guru telah memiliki masa kerja lebih dari 20 tahun dan telah berpendidikan S-1 dan memenuhi persyaratan lainnya diberi kesempatan terlebih dahulu.Tetapi apa yang terjadi, karena jumlah kuotanya terbatas maka terjadilah saling rebut, saling mendahului sehingga praktik Kolusi, Nepotisme, dan bahkan Korupsi tak dapat dihindari. Budaya semacam ini muncul dari guru yang ingin segera mengikuti sertifikasi karena adanya tunjangan profesi, maupun dari penyelenggara sertifikasi yang karena alasan tertentu mereka melakukan itu. Sehingga ada guru yang protes karena sudah memiliki pengalaman mengajar lebih lama dan berpendidikan S-1 tidak diikutkan sertifikasi, tetapi ada guru yang baru saja diangkat (masih CPNS) sudah bisa mengikuti sertifikasi. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana hal ini bias terjadi ? Siapakah yang menjadi biang keladinya ?
b. Penentuan Assessor
Masalah krusial ke dua saat penentuan Assessor oleh institusi yang diberi Kepercayaan untuk melakukan uji sertifikasi guru. Ada institusi yang menganggap kegiatan sertifikasi adalah suatu kegiatan yang “menguntungkan” karena dapat mendapatkan uang, dan lupa bahwa tujuan utama sertifikasi adalah untuk memperoleh guru yang handal dan professional. Karena mereka menganggap ini suatu kesempatan, mereka menjadi lupa saat menyeleksi atau memilih assessor.
Assessor yang dipilih bukan semata-mata berdasarkan kemampuan, profesionalisme dan kompetensi, melainkan didasarkan pada like and dislike. Jika hal ini terjadi, maka praktik KKN pun akan muncul dan tak dapat dihindari, dan kualitas assessornya patut dipertanyakan.
c. Proses Penilaian Portofolio
Masalah krusial berikutnya adalah saat penilaian portofolio dilakukan Rambu-rambu sudah ditetapkan (meskipun belum sempurna), tetapi pelaksanaannya seringkali menyimpang dari rambu – rambu tersebut. Hal ini terjadi apabila baik assessor maupun yang dinilai (guru) tidak memiliki sikap dan perilaku yang baik. Assessor mencoba meluluskan seorang guru yang sebenarnya belum memenuhi syarat karena ada hubungan dengan guru saudara, teman, atau bahkan sahabat akrab. Atau sebaliknya , guru merasa ada kedekatan dengan assessor sehingga dia berani dengan berbagai cara mendekati dan meminta assessor agar meluluskannya. Jika praktik – praktik semacam ini terjadi, maka mereka telah melakukan “pembohongan publik”, yang berdampak pada kualitas pendidikan kita.
d. Tantangan bagi Guru Bersertifikat
Memperoleh sertifikat janganlah semata-mata diartikan dengan memperoleh tunjangan profesi. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana memaknai sertifikat yang diperoleh dengan peningkatan kualitas atau kinerja mereka sebagai guru yang kompeten dan professional. Guru yang sudah bersertifikat jangan seenaknya saja bekerja karena merasa sudah mendapatkan sertifikat dan tunjangannya. Justru karena sudah mendapat sertifikat inilah mereka harus lebih meningkat kinerjanya dan mampu memotivasi teman – teman lainnya agar lebih baik.
e. Pengawasan dalam Pelaksanaan Sertifikasi
Sertifikasi guru memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan kualitas guru dan sekaligus memberikan kesejahteraan yang lebih baik kepada mereka. Hal ini sejalan dengan Deklarasi E-9 untuk Mutu dan Kesejahteraan Guru yang diikuti oleh sembilan menteri-menteri pendidikan dari negara berpenduduk terbesar di dunia, termasuk Indonesia, yang dilaksanakan di Bali tanggal 10 – 12 Maret 2008. Salah satu poin penting dalam deklarasi tersebut adalah perlunya peningkatan kualitas guru.
Namun demikian, dalam pelaksanaan sertifikasi guru perlu adanya pengawasan. Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi praktik-praktik yang tidak seharusnya dilakukan seperti KKN yang dilakukan antara institusi yang diberi kewenangan untukmelakukan uji sertifikasi dengan para guru yang berkeinginan sekali ubtuk lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Oleh karena itu, baik pemerintah, masyarakat, dan organisasi profesi pendidik harus saling bersinergi dan bekerja keras untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan sertifikasi sehingga benar-benar dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan. Jika diperlukan, bisa dibentuk lembaga pemantau dan pengawas independent pelaksanaan sertifikasi guru.
2) Perlunya Kebijakan Persebaran Guru – guru Berkualitas.
Selama ini guru-guru berkualitas banyak tersebar di sekolah – sekolah favorit (effective schools) di perkotaan. Hal ini wajar karena mereka melihat jaminan baik dari sisi ekonomi maupun karier yang lebih menjanjikan di sekolah–sekolah itu. Hal inilah sebenarnya yang melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antara urban schools dengan rural schools. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang menguntungkan sekolah-sekolah di daerah terpencil berupa kebijakan perebaran guru-guru berkualitas. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan daya tarik yang lebih kepada mereka yang mengajar di sekolah – sekolah pinggiran tersebut, misalnya dengan ditambahkannya insentif perumahan dan fasilitas pendukung lainnya. Pola pembinaan karir terutama guru-guru PNS bisa diarahkan pada kebijakan ini.
Dalam hal ini, ada baiknya kita mengadopsi system pembinaan karier model militer, di mana kader-kader terbaik harus ditempa terlebih dahulu di daerah – daerah yang penuh tantangan yang tidak mudah (contexts of stringency).
3) Perlunya Pencarian Bibit Unggul dalam Profesi Keguruan
Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan pengakuan dan penghasilan yang lebih kompetitif bagi profesi guru, sehingga hal ini bisa memikat para lulusan terbaik dari SMA untuk melanjutkan ke program keguruan.
Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan pendidikan di Finlandia, yang berdasarkan laopran PISA 2000 dan 2003 menempatkan negara welfare state itu pada ranking pertama dalam hal ketercapaian kompetensi aplikatif siswa berumur 15 tahun di bidang literasi dan numerasi. Justru faktor inovasi kurikulum, sebagaimana dikatakan Simola (2005), tidak berperan signifikan dalam menunjang keberhasilan pendidikan di Finlandia. Ketersediaan guru yang kompeten lah sebenarnya yang merupakan kunci sukses pendidikan di negara tersebut. Simola (2005) mensinyalir bahwa program keguruan di Finlandia termasuk jurasan paling diminati oleh para lulusan terbaik di SMA, sehingga wajar jika kebanyakan guru Finlandia merupakan bibit unggul yang berkualitas.
4) Restrukturisasi Lembaga-lembaga Keguruan
Pemerintah perlu melakukan restrukturisasi menyeluruh terhadap lembaga-lembaga keguruan di tanah air, terutama dari segi rekrutmen mahasiswanya, sehingga jaminan kualitasnya semakin unggul dan bisa dipertanggungjawabkan. Kebijakan – kebijakan strategis di atasnya seharusnya menjadi pijakan pemerintah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan nasional. Meskipun strategi-strategi itu hasilnya tidak bisa langsung kelihatan, tapi itu akan lebih efektif daripada strategi penerapan kebijakan UN yang terkesan hanya mengambil jalan pintas peningkatan mutu pendidikan yang hasilnya pun masih diragukan banyak pihak.
5) Kesejahteraan Guru
Salah satu strategi yang diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi guru adalah melalui sertifikasi guru sebagaimana tertuang dalam Undang – Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Bagi mereka yang memenuhi syarat dan lulus sertifikasi akan diberi tunjangan profesi sebagai pendidik, tunjangan fungsional, dan tunjangan -tunjangan lainnya. Strategi ini diyakini sebagai salah satu strategi yang “adil” karena antara hak dan kewajiban disejajarkan; penerimaan kesejahteraan harus diimbangi dengan profesionalisme. Pemberian tunjangan bagi guru yang telah lulus uji sertifikasi secara formal baru diberikan mulai tahun 2007, meskipun sertifikasi sendiri telah dilakukan mulai tahun 2006. Dengan adanya kesejahteraan/tunjangan ini diharapkan kualitas mengajar dan kinerja guru secara keseluruhan semakin meningkat.
Masalah kualitas dan kesejahteraan guru sebenarnya bukan hanya masalah Indonesia saja; hampir sebagian besar negara di Asia Tenggara mengalami hal serupa. Learning round-table on Advenced Teacher Professinalism yang diselenggarakan di Bangkok;Thailand, 13 – 14 Juni 2005 memunculkan beberapa isu terkait dengan Teachers` motivation and Incentives antara lain sebagai berikut :
a. Tuntutan agar guru lebih profesional perlu dimbangi dengan insentive yang memadai, apalah artinya guru berjuang sepenuh hati untuk menjadi profesional, apabila insentive yang mereka terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, apabila untuk pengembangan profesionalisme mereka. Oleh karena itu, perlu ada standar insentive sebagai penyeimbang tuntutan profesionalisme guru. Dengan insentive yang memadai, guru akan dapat mencurahkan perhatiannyadan lebih termotivasi untuk menjadi guru yang profesional. Di samping itu, dengan insentive yang memadai, guru merasa aman secara ekonomi dalam hidupnya, sehingga dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap profesi mereka.
b. Pemberian insentive sesuai dengan standar, perlu didasari oleh hasil evaluasi terhadap kapasitas, profesionalisme dan kinerja guru. Oleh karena itu diperlukan standar evaluasi guru yang dapat digunakan sebagai dasar pemberian reward and punisment. Salah satu negara yang telah menerapkan reward system adalah Brunai darussalam. Hasil evaluasi guru, sangat menetukan dinaikkan atau tidaknya insentive mereka, dan besar atau kecilnya insentive yang mereka terima.
c. Di samping insentive dalam bentuk uang, dapat pula diberikan dalam
bentuk penghargaan dan pemberian kesempatan untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya dengan mengirim mereka menikuti pelatihan atau training peningkatan profesionalisme guru (metodologi pembelajaran, teknik penilaian, dll).
d. Perlunya collaborative research untuk memperoleh data aktual yang dapat digunakan sebagai dasar evaluasi dan pemberian incentive bagi guru, sekolah dan stakeholders pendidikan lainnya untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja masing-masing.
6) Beasiswa
Beasiswa ini merupakan salah satu rangsangan bagi guru, sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikan dan memperluas wawasan. Hal tersebut sudah diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2005 pasal 15, bahwa guru akan memperoleh hak maslahat tambahan. Dengan demikian, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pasal tersebut.
7) Penghargaan
Penghargaan tersebut diperuntukkan pada guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan. Demikian juga guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain (UU Nomor 15 tahun 2005 bagian ke enam pasal 36 dan 37).
PENUTUP
Kita semua sepakat bahwa peningkatan kualitas guru melalui sertifikasi guru juga harus dimbangi dengan kualitas mengajar, profesionalisme, dan kinerja yang lebih baik. Dalam upaya untuk mewujudkan peningkatan kualitas guru tersebut, pemerintah telah bertekad bulat mengupayakan kesejahteraan atau tunjangan guru dengan pengalokasian dana melalui APBN sejak tahun 2006, dan diharapkan dalam beberapa tahun ke depan masalah tunjangan guru dapat diselesaikan. Agar upaya ini dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya dukungan dan kerjasama sinergis antar berbagai pemangku kepentingan terkait, termasuk Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Pada kesempatan ini, saya berharap agar LPTK dapat berperan lebih aktif dan maju di garis depan, dengan memberikan masukan, pemikiran, dan melakukan terobosan – terobosan baru yang dapat mensejahterakan guru dan tidak selalu bergantung kepada pemerintah. Saya ingin LPTK mengupayakan agar guru dan lembaga-lembaga sejenisnya dapat mencontoh LPTK dan persatuan (Teacher Union) negara-negara lain, seperti Australia, yang senantiasa berada di garis depan mencari terobosan dan strategi untuk meningkatkan dan memperjuangankan peningkatan kualitas dan sekaligus kesejahteraan guru tanpa harus bergantung sepenuhnya pada pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Baedhowi dan Hartoyo (2005). Laporan 2005 Learning Round-table on Advanced
Teacher Profesionalism. Bangkok, Thailand 13 – 14 Juni 2005.

Csikszentmihalyi, M dan Mc Cormack, J. The Influence of Teachers, dalam

Kevin Ryan dan James M. Cooper (Eds). (2004). Kaleidoscope;

Readings in Education. New York: Houghton Miffin Company.

Davies, B. dan Ellison, L. (1992) School Development Planning. Harlow:
Longman Group U.K. Ltd.

-------------(2008) Deklarasi E-9 Untuk Mutu dan Kesejahteraan Guru. Bali 10 –
12 Maret 2008

Hartoyo (2007) Supervisi Pendidikan ; Mewujudkan Sekolah Efektif dalam
Kerangka Manajemen Berbasis Sekolah. Semarang: Penerbit Pelita Insani.

http://www.sebi.ac.id/index.php/Itemid=37&id=264&option=com
content&task=view

http://www.cyberschooldps.net

Langford, D.P. dan Cleary B.A. (1996). Orchestrating Learning With Quality.
Kuala Lumpur : Synergy Books International.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen

* Makalah ini telah pernah disampaikan dalam Seminar Nasional “Peningkatan
Kualitas Pendidikan melalui Peningkatan Profesionalisme Guru,” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) pada tanggal 17 Mei 2008
bertempat di Auditorium Ukhuwwah Islamiyah.
3. Carilah tulisan, artikel atau jurnal yang bercerita tentang mahzab frankfrut/frankfrut school.
Jawab :
Sekolah Frankfrut (die Frankfruter Schule) pada mulanya adalah forum diskusi sekelompok sarjana Jerman. Sekolah Frankfrut ini dalam perkembangannya lebih dikenal sebagai Madzhab Frankfrut karena berhasil mengeluarkan serangkaian teori filsafat sosial yang menarik minat banyak ahli filsafat dunia untuk mengkajinya. Salah satu filsafat sosial yang berhasil dikeluarkan oleh madzhab ini adalah terori kritis atau biasa disebut dengan teori kritik masyarakat.
• • Max Horkheimer dan Teori Kritis
Sekolah Frankfrut mencapai era keemasan ketika pada 1930. Max Horkheimer ditunjuk sebagai direktur. Horkheimer sendiri adalah tokoh pendiri yang menetapkan paradigma dasar Madzhab Frankfurt dalam melakukan kritik epistemologi terhadap peradaban industrial.Ho rkheimer, mencoba membuat pembedaan tegas antara rasional dengan rasionalisasi. Rasional adalah sesuatu yang berdasar pertimbangan akal sehat dan layak dipercaya sebagai sesuatu yang masuk akal. Sedangkan rasionalisasi adalah upaya manipulatif yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa sesuatu itu seolah-olah masuk akal. Upaya rasionalisasi ini menjadi tren ketika August Comte dengan positivisme mulai memperkenalkan pendekatan kuantitatif untuk menjelaskan suatu realita. Statistik kemudian dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan realitas itu. Buntut dari pendekatan Comte ini mendorong semua negara untuk menjelaskan kondisi negaranya dengan angka. Segalanya kemudian dijelaskan dengan angka prosentase, mulai kemiskinan, pengangguran, kematian ibu melahirkan, pendidikan, kelahiran, kesehatan, dan sebagainya.
Pendekatan seperti inilah yang coba dikritisi oleh Horkheimer karena dianggap sangat tidak manusiawi. Menjadikan manusia seperti kelereng, kemudian dikelompokkan menurut warna, selanjutnya dimasukkan pada kotak masing-masing. Bahkan, di dalam kesadaran kita pun, secara tidak sengaja telah terkontaminasi oleh cara pikir Comte itu. Ketika kita mendengar ada suatu bencana, pertanyaan pertama yang kita ajukan adalah berapa korbannya? Kemudian kita akan mencoba membandingkannya dengan angka korban dari bencana lain. Dari hasil perbandingan ini, kita mengambil simpulan. Angka selanjutnya menjadi topik menarik untuk dibicarakan. Memiliki data dalam wujud angka, terkadang dijadikan ukuran untuk mengkaji kadar intelektual seseorang.
Kematian tragis satu orang akan kita pahami sebagai tragedi. Namun, kematian tragis ratusan atau ribuan orang, ironisnya, hanya akan kita pahami sebagai statistik. Demikianlah cara berpikir kebanyakan dari kita saat ini. Kehadiran teori kritis memang bertujuan untuk mengkritisi cara berpikir yang kuantitatif seperti ini. Sekaligus, untuk mengungkap dan membuktikan bahwa rasionalisasi sangat sarat dengan kebohongan.
• Aplikasi Teori Kritis
Pada mulanya, teori kritis harus menaruh kecurigaan terhadap suatu “pernyataan” yang dimaksudkan untuk menjelaskan keadaan realitas tertentu. Bahwa, “pernyataan” itu tidak benar dan tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Metode ini disebut falsifikasi, kebalikan dari verifikasi. Falsifikasi mencoba membuktikan kesalahan suatu asumsi, sedangkan verifikasi mencoba mencari faktor pembenar dari suatu asumsi. Secara sederhana, perbedaan antara kedua pendekatan ini bolehlah disebut demikian. Bagaimana aplikasi kedua pendekatan ini? Contoh, seorang presiden suatu negara berpidato dan menyatakan bahwa dia telah berhasil menekan angka kemiskinan di negaranya. Selanjutnya, dia menunjukkan bukti angka dari 35 prosen ke 30 prosen. Pendekatan verifikasi akan mencoba menguji kebenaran pernyataan itu dengan menggunakan basis logika berikut parameter yang sama. Sementara itu, falsifikasi justru akan mengkritisi basis logika dan parameter yang dipergunakan karena hasil suatu statistik sangat bergantung pada parameter yang digunakan dalam menentukan variabel, kriteria, dan indikator. Perubahan pada parameter ini akan sangat berpengaruh terhadap hasil dari suatu simpulan statistik. Misalnya, kriteria kemiskinan didasarkan pada faktor pengeluaran perkapita, sebutlah 150 ribu rupiah per bulan. Melihat hal itu, falsifikasi akan menanyakan dasarnya apa. Apakah dengan pengeluaran yang sedikit di atas jumlah itu, misalnya 200 ribu, seseorang sudah bisa hidup layak secara nyata, dan boleh dibilang tidak miskin lagi? Kalau ternyata belum, kriterianya harus dinaikkan dengan konsekuensi hasil statistiknya pun akan berubah dan jadi lebih besar. Selain itu, falsifikasi bisa memeriksa aspek ekonomi-politik negara itu. Dia boleh melakukan analisis terhadap politik anggaran yang ditetapkan negara atau mengaitkan dengan posisi utang luar negerinya.
Sumber : http://www.anneahira.com/filsafat-sosial.htm

Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut. Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau ‘mazhab’, dan bahwa penamaan ini diberikan secara retrospektif. Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl MarxMarxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx. Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan ‘jawaban’ terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan zaman.
Patut dicatat bahwa beberapa pemikir utama Mahzab Frankfurt beragama Yahudi, dan terutama di perioda awal secara langsung menjadi korban Fasisme Nazi. Yang paling tragis ialah kematian Walter Benjamin, yang dicurigai melakukan bunuh diri setelah isi perpustakaannya disita oleh tentara Nazi. Beberapa yang lainnya, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer terpaksa melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat. Contoh karya-karya terkenal yang dihasilkan para pemikir Mazhab Frankfurt antara lain Dialectic of Enlightenment, Minima Moralia, Illuminations.
• Sejarah Mazhab Frankfurt
Mazhab Frankfurt mengumpulkan para pembangkang Marxis, para kritikus keras kapitalisme yang percaya bahwa beberapa orang yang dianggap sebagai pengikut Marx telah membeo, menirukan beberapa cuplikan sempit dari gagasan-gagasan Marx, biasanya dalam membela partai-partai komunis atau Sosial-Demokrat ortodoks. Mereka khususnya dipengaruhi oleh kegagaln revolusi kaum pekerja di Eropa Barat setelah Perang Dunia I dan oleh bangkitnya Nazisme di negara yang secara ekonomi, teknologi, dan budaya maju (Jerman). Karena itu mereka merasa harus memilih bagian-bagian mana dari pemikiran-pemikiran Marx yang dapat menolong untuk memperjelas kondisi-kondisi yang Marx sendiri tidak pernah lihat. Mereka meminjam dari mazhab-mazhab pemikiran lain yang mengisi apa yang dianggap kurang dari Marx. Max Weber memberikan pengaruh yang besar, seperti halnya juga Sigmund Freud (seperti dalam kasus sintesis Freudo-Marxis oleh Herbert Marcuse dalam karyanya tahun 1954, Eros and Civilization). Penekanan mereka terhadap komponen “Kritis” dari teori sangat banyak meminjam dari upaya mereka untuk mengatasi batas-batas dari positivisme, materialisme yang kasar, dan fenomenologi dengan kembali kepada filsafat kritis Kant dan penerus-penerusnya dalam idealisme Jerman, khususnya filsafat Hegel, dengan penekanannya pada negasi dan kontradiksi sebagai bagian yang inheren dari realitas. Sebuah pengaruh penting juga dating dari penerbitan Manuskrip Ekonomi-Filsafat dan Ideologi Jerman karya Marx tahun 1930-an yang memperlihatkan kesinambungan dengan Hegelianisme yang mendasari pemikiran-pemikiran Marx: Marcuse adalah salah satu orang yang pertama mengartikulasikan signifikansi teoretis dari teks-teks ini.
• Fase Pertama
Institut membuat sumbangan-sumbangan penting dalam dua bidang yang terkait dengan kemungkinan-kemungkinan subyek manusia yang rasional, yaitu individu-individu yang dapat bertindak secara rasional untuk bertanggung jawab atas masyarakat dan sejarah mereka sendiri. Yang pertama terdiri atas fenomena sosial yang sebelumnya dianggap dalam Marxisme sebagai bagian dari “superstruktur” atau sebagai ideologi: struktur-struktur kepribadian, keluarga dan otoritas (penerbitan bukunya yang pertama diberi judul Studi tentang Otoritas dan Keluarga), dan ranah estetika dan budaya massa. Studi-studi ini juga melihat kepedulian bersama di sini dalam kemampuan kapitalisme untuk menghancurkan prakondisi-prakondisi Kritis, kesadaran revolusioner. Ini berarti tiba pada kesadaran canggih tentang dimensi kedalaman di mana penindasan sosial mempertahankan dirinya sendiri. Ini juga merupakan awal dari pengakuan teori Kritis terhadap ideologi sebagai bagian dari dasar-dasar struktur sosial. Institut ini dan berbagai pihak yang ikut bekerja sama dengannya mempunyai dampak yang hebat terhadap ilmu sosial (khususnya Amerika) melalui karya mereka The Authoritarian Personality (“Kepribadian yang Otoriter”), which melakukan penelitian empirik yang luas, dengan menggunakan kategori-kategori sosiologis dan psikoanalisis, untuk menggambarkan kekuatan-kekuatan yang mendorong individu untuk berafiliasi dengan atau mendukung gerakan-gerakan atau partai-partai fasis.
• Para pemikir dan pakar utama Mazhab Frankfurt
• Theodor W. Adorno
• Max Horkheimer
• Walter Benjamin
• Herbert Marcuse
• Alfred Sohn-Rethel
• Leo Löwenthal
• Franz Neumann
• Franz Oppenheimer
• Friedrich Pollock
• Erich Fromm
• Alfred Schmidt
• Jürgen Habermas
• Oskar Negt
• Karl A. Wittfogel
• Susan Buck-Morss
• Axel Honneth
Kritikus terkemuka terhadap Mazhab Frankfurt
• Henryk Grossman
• Georg Lukács
• Umberto Eco
Rujukan
• Martin Jay. The Dialectical Imagination: A History of the Frankfurt School and the Institute for Social Research 1923-1950. Berkeley, University of California Press, 1996. ISBN 0-520-20423-9.
• Rolf Wiggershaus. The Frankfurt School: Its History, Theories and Political Significance. Cambridge, Mass.: The MIT Press, 1995. ISBN 0-262-73113-4.
• Jeremy J. Shapiro, "The Critical Theory of Frankfurt", Times Literary Supplement, Oct. 4, 1974, No. 3,787. (Bahan-bahan untuk penerbitan ini telah digunakan atau diadaptasi untuk artikel ini, dengan izin.)
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Frankfurt